Dunia profesi yang selama ini telah berkontribusi
dalam menjaga keberlangsungan dan kemajuan perekonomian Indonesia akan
menghadapi tantangan yang besar di era globalisasi ini. Kebutuhan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan semakin meningkat dan masif.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar perusahaan swasta atau bahkan
instansi pemerintah sekalipun di Indonesia memiliki kriteria perekrutan
dan penempatan SDM yang berbeda-beda. Ada yang berdasarkan keahlian
spesifik (FuLL Skill) dan ada yang hanya berdasarkan kepemilikan ijazah
(FuLL certificated/ijazah). Hal tersebut terjadi, karena adanya
“subjektivitas” pandangan personal dari senior ataupun petugas pengelola
SDM di instansi terkait, baik dalam perekrutan maupun penempatan. Hal
itu akan menjadi investasi yang sangat riskan dan berpotensi merugikan
baik secara personal pekerja maupun instansi/perusahaan, karena
kemungkinan pekerja bekerja tanpa passion. Dikotomi tersebut telah lama
berkembang dan menjadi kultur di kehidupan sosial Indonesia, yang
awalnya dimulai dari perseteruan “pandangan sempit” beberapa kelompok masyarakat mengenai pendidikan jenjang menengah, sehingga melahirkan istilah perseteruan tersebut (FuLL Skill Versus FuLL certificated/ijazah).
Sebagian kelompok masyarakat
memandang sekolah kejuruan (SMK) sebagai “anak tiri” pendidikan. Mereka
beranggapan SMK sulit untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
(Perguruan Tinggi). Dalam dunia kerja, lulusan SMK dianggap bidang yang
sempit karena keahlian yang diajarkan SMK sangat spesifik. Dalam status
sosial, SMK sering dianggap kurang bergengsi. Sayangnya kelompok ini
dominan di Indonesia, terbukti minimnya jumlah dan minat siswa ke SMK,
terutama di daerah-daerah.
Sebagian kelompok masyarakat lainnya
memandang sekolah umum (SMA) sebagai sekolah “yang tidak jelas” dan
berbiaya lebih mahal. Mereka beranggapan, SMA adalah sekolah tanpa
keahlian karena pelajarannya lebih banyak teori dan bersifat umum.
Lulusan SMA dianggap harus melanjutkan ke perguruan tinggi agar dapat
diterima di dunia kerja, jika tidak maka akan sulit diterima kerja.
Itulah perseteruan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang “berpandangan sempit”. Sebaiknya kita harus merubah/mereformasi mindset dari kedua kelompok tersebut, karena akan menjadi momok menakutkan yang akan terwariskan bagi generasi-generasi selanjutnya.
Sekolah Kejuruan (SMK), sebaiknya tidak lagi
dipandang sebelah mata atau menomor-duakannya. SMK yang dibekali lebih
banyak praktek keterampilan, menjadi siap bekerja dan berkompetisi dalam angkatan kerja. Namun, SMK bukanlah “anak tiri” pendidikan, lulusan SMK sangat dapat
melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan bahkan lebih terbekali secara
spesifik. Sebagai contoh, lulusan SMK jurusan listrik akan sangat mudah
ter-upgrade ilmu dan keterampilannya ketika masuk perguruan tinggi
jurusan elektonik. Selain itu, SMK bukanlah bidang yang sempit karena
SMK juga diajarkan pelajaran umum (bahasa, matematika, agama dan
sebagainya). SMK pun diajarkan bagaimana Pola pikir dan Pola Kerja yang terstandar,
sehingga lulusan SMK tidak memiliki bidang/ruang kerja yang sempit pada
keahliannya saja, namun dapat diaplikasikan pada keahlian lainnya.
Sebagai contoh, lulusan SMK elektronik dapat bekerja di bidang mesin
karena lulusan SMK elektronik memiliki bekal Pola Pikir, Pola Kerja dan
keterampilan yang hampir sama secara teknis dengan jurusan mesin
sehingga lebih adaptif. SMK tidak perlu gengsi atau minder, karena sudah
banyak bukti prestasi yang ditorehkan oleh SMK dan diberitakan dengan
bangga melalui media massa, salah satu contohnya Mobil EsEmKa.
Program SMK bisa menjadi solusi terdekat yang aplikatif untuk mengatasi pengangguran muda di Indonesia yang saat ini angkanya menjadi salah satu tertinggi di Asia.
Salah satu negara maju yang berhasil bertahan dari krisis global dan
menekan angka pengangguran melalui sistem SMK adalah Jerman. Di Jerman
hanya 8% warga berusia di bawah 25 tahun yang menganggur. Karena itu,
negara-negara di Eropa yang punya angka pengangguran tinggi mulai
melirik sistem pendidikan kejuruan yang diterapkan di Jerman. Sistem
pendidikan kejuruan Jerman dinamakan ”duale Ausbildung”, di kalangan
internasional disebut sebagai ”Dual System”. Prinsip pendidikannya
adalah, siswa langsung belajar praktek di perusahaan, selain itu siswa
memiliki Vertrag (Kesepakatan Kerja) dengan Perusahaan dan diberi upah
kerja. Pola belajarnya dengan Sistim Blok, sebagai contoh 7 minggu di
Sekolah dan 7 minggu di Perusahaan atau Pola 2 hari di sekolah dan 3
hari di Perusahaan. Hal ini tergantung karakteristik Kompetensi
Keahliannya. Di perusahaan, siswa SMK dibimbing oleh Ausbildung
(pembimbing/mentor). Setiap tahunnya, 60% calon siswa di Jerman memilih
Sekolah Kejuruan dengan Dual System-nya.
Berkaca pada sistem Jerman, maka pemerintah ataupun
instansi pendidikan swasta di Indonesia yang ingin mendirikan SMK
sebaiknya juga memperhatikan dan menelaah serapan kemampuan instansi
profesi ataupun jejaring profesi yang minimal terdapat di area terdekat
(lokal). Selain itu, perlu adanya audiensi atau komunikasi secara
langsung dan berkelanjutan dengan instansi-instansi lokal maupun
jejaring profesi untuk melihat gambaran secara riil kebutuhan SDM
kejuruan, baik dari segi kuantitas maupun kriteria kualitas
secara spesifik dan detail. Hal tersebut agar peserta didik SMK tidak
hanya sekedar belajar di sekolahnya saja, namun juga dilatih dan dibina
pada atmosfer keahliannya secara nyata karena itulah esensi dari Sekolah
Menengah Kejuruan. Karena lulusan SMK sangatlah berharga
keterampilannya untuk Dunia Kerja, maka penyelenggara SMK harus dapat
mengarahkan dengan baik dan tepat.
Harapannya ketika peserta didiknya lulus, mereka sudah HARUS mendapat ruang pasti untuk terdaftar sebagai angkatan kerja,
yaitu mendapat peluang pekerjaan pada instansi terkait ataupun
berwirausaha sesuai dengan keahliannya yang didapat di area terdekatnya
(lokal), disamping pilihannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Jika hal tersebut tercapai maka angkatan kerja
terampil yang terdidik dari lulusan SMK benar-benar dapat mengentaskan
pengangguran serta selaras dengan Dunia Kerja. Sehingga pihak
penyelenggara dan pendukung SMK, bukan hanya sekedar mendapatkan
“keuntungan” dari penyelenggaraan pendidikan, namun benar-benar
mengarahkan serta memfasilitasi anak didiknya dengan baik (dari Tenaga
pengajar hingga sarana pendukung).
Sekolah umum (SMA) tidak kalah pentingnya dengan
SMK. SMA yang lebih banyak diajarkan ilmu murni melalui teori juga
sangat penting untuk menunjang ilmu terapan terutama dalam hal
pengembangan. SMA memang terlihat jelas diarahkan ke jenjang pendidikan
lebih tinggi/Perguruan Tinggi (Full certificated/ijazah), namun tidak
menutup kemungkinan untuk memasuki dunia kerja. Karena dewasa ini Dunia kerja/profesi/bisnis sudah sangat luas
bukan hanya berada pada bidang teknis saja, namun juga pada bidang
keilmuan, teoritis dan sebagainya yang bersifat general. Sebagai contoh,
dunia kerja jurnalistik/publikasi yang banyak mengeksplorasi dan
mengkomparasi teori-teori. SMA di Indonesia juga memiliki prestasi yang
membanggakan dan terkenal langganan juara Olimpiade tingkat
Internasional untuk ilmu murni (seperti fisika, matematika dan
sebagainya). Ilmu-ilmu murni tersebut juga berguna dalam dunia kerja,
sebagai dasar-dasar ilmu teknis terapan, problem solving dan pengembangan.
SMA yang lebih banyak mempelajari teori ilmu murni, juga bukan berarti
sekolah tanpa keahlian, karena banyak SMA yang mendukung serta
memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan diri dalam menambah keahlian
di luar jam pelajaran, yaitu melalui kegiatan ektrakulikuler. Banyak
juga siswa-siswa SMA yang bisa berprestasi, baik tingkat nasional maupun
internasional pada bidang lain di luar mata pelajaran utamanya.
Kesimpulannya
adalah Sekolah Kejuruan (SMK) maupun Sekolah Umum (SMA), sama-sama
diperlukan oleh bangsa Indonesia bahkan oleh seluruh bangsa di dunia.
SMA dan SMK saling melengkapi dan saling menunjang. Maka, sebaiknya
“perseteruan” FULL SkiLL (diwakili SMK) Vs FULL Ijazah (diwakili SMA)
harus segera diakhiri dan berakhir dengan seri/seimbang (kesetaraan).
Langkah kesetaraan tersebut antara lain, meningkatkan pemahaman positif
masyarakat tentang SMK, yang dirasa masih minim dan menyetarakan dengan
pandangan tentang SMA. Hal tersebut juga harus sejalan dengan
peningkatan kapasitas kuantitas dan kualitas SMK yang sesuai kebutuhan
SDM berkeahlian spesifik di Dunia Kerja saat ini dan masa mendatang yang
terukur. Namun, proses peningkatan SMK tersebut, bukan berarti dengan
mengenyampingkan ataupun mereduksi sekolah umum (SMA).
Hal yang paling penting adalah lebih baik
mengalihkan energi dan perhatian kita bukan pada “perseteruan”, tetapi
kepada peningkatan pembinaan potensi anak bangsa yang tepat minat dan
bakat untuk menghasilkan prestasi karya nyata yang bermanfaat di Dunia
Kerja sebagai bentuk keberhasilan Dunia Pendidikan. PENDIDIKAN adalah SETARA, yang membedakan hanyalah prestasi yang dibangun dengan kerja keras dan kreatifitas.
SEMANGAT MENGEJAR CITA-CITA!!
referensi :
Antara Pengalaman Guru dan Kesiapan Sarana Pendukung. Imob educare. http://www.imobeducare.com/story/antara-pengalaman-guru-dan-kesiapan-sarana-pendukung
Germany’s Dual System of Vocational Education and Training. World Skills Leipzig2013. http://www.worldskillsleipzig2013.com/en/education/germany_dual_system/
Pendidikan Kejuruan Jerman Jadi Model di Negara Lain. Deutsch Welle. http://www.dw.de/pendidikan-kejuruan-jerman-jadi-model-di-negara-lain/a-16587165
Pengangguran Muda di Indonesia Tertinggi di Asia. Tribune Kompas. http://www.tribunekompas.com/2012/04/pengangguran-muda-di-indonesia.html
The Educational System in Germany. http://academic.cuesta.edu/intlang/german/education.html
0 komentar:
Posting Komentar