Senin, 02 Juni 2014

Full Skill atau Full Ijazah

Dunia profesi yang selama ini telah berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan dan kemajuan perekonomian Indonesia akan menghadapi tantangan yang besar di era globalisasi ini. Kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan semakin meningkat dan masif. Namun pada kenyataannya, sebagian besar perusahaan swasta atau bahkan instansi pemerintah sekalipun di Indonesia memiliki kriteria perekrutan dan penempatan SDM yang berbeda-beda. Ada yang berdasarkan keahlian spesifik (FuLL Skill) dan ada yang hanya berdasarkan kepemilikan ijazah (FuLL certificated/ijazah). Hal tersebut terjadi, karena adanya “subjektivitas” pandangan personal dari senior ataupun petugas pengelola SDM di instansi terkait, baik dalam perekrutan maupun penempatan. Hal itu akan menjadi investasi yang sangat riskan dan berpotensi merugikan baik secara personal pekerja maupun instansi/perusahaan, karena kemungkinan pekerja bekerja tanpa passion. Dikotomi tersebut telah lama berkembang dan menjadi kultur di kehidupan sosial Indonesia, yang awalnya dimulai dari perseteruan “pandangan sempit” beberapa kelompok masyarakat mengenai pendidikan jenjang menengah, sehingga melahirkan istilah perseteruan tersebut (FuLL Skill Versus FuLL certificated/ijazah).

Sebagian kelompok masyarakat memandang sekolah kejuruan (SMK) sebagai “anak tiri” pendidikan. Mereka beranggapan SMK sulit untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi). Dalam dunia kerja, lulusan SMK dianggap bidang yang sempit karena keahlian yang diajarkan SMK sangat spesifik. Dalam status sosial, SMK sering dianggap kurang bergengsi. Sayangnya kelompok ini dominan di Indonesia, terbukti minimnya jumlah dan minat siswa ke SMK, terutama di daerah-daerah.
Sebagian kelompok masyarakat lainnya memandang sekolah umum (SMA) sebagai sekolah “yang tidak jelas” dan berbiaya lebih mahal. Mereka beranggapan, SMA adalah sekolah tanpa keahlian karena pelajarannya lebih banyak teori dan bersifat umum. Lulusan SMA dianggap harus melanjutkan ke perguruan tinggi agar dapat diterima di dunia kerja, jika tidak maka akan sulit diterima kerja.
Itulah perseteruan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang “berpandangan sempit”. Sebaiknya kita harus merubah/mereformasi mindset dari kedua kelompok tersebut, karena akan menjadi momok menakutkan yang akan terwariskan bagi generasi-generasi selanjutnya.

Sekolah Kejuruan (SMK), sebaiknya tidak lagi dipandang sebelah mata atau menomor-duakannya. SMK yang dibekali lebih banyak praktek keterampilan, menjadi siap bekerja dan berkompetisi dalam angkatan kerja. Namun, SMK bukanlah “anak tiri” pendidikan, lulusan SMK sangat dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan bahkan lebih terbekali secara spesifik. Sebagai contoh, lulusan SMK jurusan listrik akan sangat mudah ter-upgrade ilmu dan keterampilannya ketika masuk perguruan tinggi jurusan elektonik. Selain itu, SMK bukanlah bidang yang sempit karena SMK juga diajarkan pelajaran umum (bahasa, matematika, agama dan sebagainya). SMK pun diajarkan bagaimana Pola pikir dan Pola Kerja yang terstandar, sehingga lulusan SMK tidak memiliki bidang/ruang kerja yang sempit pada keahliannya saja, namun dapat diaplikasikan pada keahlian lainnya. Sebagai contoh, lulusan SMK elektronik dapat bekerja di bidang mesin karena lulusan SMK elektronik memiliki bekal Pola Pikir, Pola Kerja dan keterampilan yang hampir sama secara teknis dengan jurusan mesin sehingga lebih adaptif. SMK tidak perlu gengsi atau minder, karena sudah banyak bukti prestasi yang ditorehkan oleh SMK dan diberitakan dengan bangga melalui media massa, salah satu contohnya Mobil EsEmKa.

Program SMK bisa menjadi solusi terdekat yang aplikatif untuk mengatasi pengangguran muda di Indonesia yang saat ini angkanya menjadi salah satu tertinggi di Asia. Salah satu negara maju yang berhasil bertahan dari krisis global dan menekan angka pengangguran melalui sistem SMK adalah Jerman. Di Jerman hanya 8% warga berusia di bawah 25 tahun yang menganggur. Karena itu, negara-negara di Eropa yang punya angka pengangguran tinggi mulai melirik sistem pendidikan kejuruan yang diterapkan di Jerman. Sistem pendidikan kejuruan Jerman dinamakan ”duale Ausbildung”, di kalangan internasional disebut sebagai ”Dual System”. Prinsip pendidikannya adalah, siswa langsung belajar praktek di perusahaan, selain itu siswa memiliki Vertrag (Kesepakatan Kerja) dengan Perusahaan dan diberi upah kerja. Pola belajarnya dengan Sistim Blok, sebagai contoh 7 minggu di Sekolah dan 7 minggu di Perusahaan atau Pola 2 hari di sekolah dan 3 hari di Perusahaan. Hal ini tergantung karakteristik Kompetensi Keahliannya. Di perusahaan, siswa SMK dibimbing oleh Ausbildung (pembimbing/mentor). Setiap tahunnya, 60% calon siswa di Jerman memilih Sekolah Kejuruan dengan Dual System-nya.

Berkaca pada sistem Jerman, maka pemerintah ataupun instansi pendidikan swasta di Indonesia yang ingin mendirikan SMK sebaiknya juga memperhatikan dan menelaah serapan kemampuan instansi profesi ataupun jejaring profesi yang minimal terdapat di area terdekat (lokal). Selain itu, perlu adanya audiensi atau komunikasi secara langsung dan berkelanjutan dengan instansi-instansi lokal maupun jejaring profesi untuk melihat gambaran secara riil kebutuhan SDM kejuruan, baik dari segi kuantitas maupun kriteria kualitas secara spesifik dan detail. Hal tersebut agar peserta didik SMK tidak hanya sekedar belajar di sekolahnya saja, namun juga dilatih dan dibina pada atmosfer keahliannya secara nyata karena itulah esensi dari Sekolah Menengah Kejuruan. Karena lulusan SMK sangatlah berharga keterampilannya untuk Dunia Kerja, maka penyelenggara SMK harus dapat mengarahkan dengan baik dan tepat.

Harapannya ketika peserta didiknya lulus, mereka sudah HARUS mendapat ruang pasti untuk terdaftar sebagai angkatan kerja, yaitu mendapat peluang pekerjaan pada instansi terkait ataupun berwirausaha sesuai dengan keahliannya yang didapat di area terdekatnya (lokal), disamping pilihannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika hal tersebut tercapai maka angkatan kerja terampil yang terdidik dari lulusan SMK benar-benar dapat mengentaskan pengangguran serta selaras dengan Dunia Kerja. Sehingga pihak penyelenggara dan pendukung SMK, bukan hanya sekedar mendapatkan “keuntungan” dari penyelenggaraan pendidikan, namun benar-benar mengarahkan serta memfasilitasi anak didiknya dengan baik (dari Tenaga pengajar hingga sarana pendukung).


Sekolah umum (SMA) tidak kalah pentingnya dengan SMK. SMA yang lebih banyak diajarkan ilmu murni melalui teori juga sangat penting untuk menunjang ilmu terapan terutama dalam hal pengembangan. SMA memang terlihat jelas diarahkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi/Perguruan Tinggi (Full certificated/ijazah), namun tidak menutup kemungkinan untuk memasuki dunia kerja. Karena dewasa ini Dunia kerja/profesi/bisnis sudah sangat luas bukan hanya berada pada bidang teknis saja, namun juga pada bidang keilmuan, teoritis dan sebagainya yang bersifat general. Sebagai contoh, dunia kerja jurnalistik/publikasi yang banyak mengeksplorasi dan mengkomparasi teori-teori. SMA di Indonesia juga memiliki prestasi yang membanggakan dan terkenal langganan juara Olimpiade tingkat Internasional untuk ilmu murni (seperti fisika, matematika dan sebagainya). Ilmu-ilmu murni tersebut juga berguna dalam dunia kerja, sebagai dasar-dasar ilmu teknis terapan, problem solving dan pengembangan. SMA yang lebih banyak mempelajari teori ilmu murni, juga bukan berarti sekolah tanpa keahlian, karena banyak SMA yang mendukung serta memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan diri dalam menambah keahlian di luar jam pelajaran, yaitu melalui kegiatan ektrakulikuler. Banyak juga siswa-siswa SMA yang bisa berprestasi, baik tingkat nasional maupun internasional pada bidang lain di luar mata pelajaran utamanya.

Kesimpulannya adalah Sekolah Kejuruan (SMK) maupun Sekolah Umum (SMA), sama-sama diperlukan oleh bangsa Indonesia bahkan oleh seluruh bangsa di dunia. SMA dan SMK saling melengkapi dan saling menunjang. Maka, sebaiknya “perseteruan” FULL SkiLL (diwakili SMK) Vs FULL Ijazah (diwakili SMA) harus segera diakhiri dan berakhir dengan seri/seimbang (kesetaraan). Langkah kesetaraan tersebut antara lain, meningkatkan pemahaman positif masyarakat tentang SMK, yang dirasa masih minim dan menyetarakan dengan pandangan tentang SMA. Hal tersebut juga harus sejalan dengan peningkatan kapasitas kuantitas dan kualitas SMK yang sesuai kebutuhan SDM berkeahlian spesifik di Dunia Kerja saat ini dan masa mendatang yang terukur. Namun, proses peningkatan SMK tersebut, bukan berarti dengan mengenyampingkan ataupun mereduksi sekolah umum (SMA).
Hal yang paling penting adalah lebih baik mengalihkan energi dan perhatian kita bukan pada “perseteruan”, tetapi kepada peningkatan pembinaan potensi anak bangsa yang tepat minat dan bakat untuk menghasilkan prestasi karya nyata yang bermanfaat di Dunia Kerja sebagai bentuk keberhasilan Dunia Pendidikan. PENDIDIKAN adalah SETARA, yang membedakan hanyalah prestasi yang dibangun dengan kerja keras dan kreatifitas.


 SEMANGAT MENGEJAR CITA-CITA!!
referensi :
Antara Pengalaman Guru dan Kesiapan Sarana Pendukung. Imob educare. http://www.imobeducare.com/story/antara-pengalaman-guru-dan-kesiapan-sarana-pendukung
Germany’s Dual System of Vocational Education and Training. World Skills Leipzig2013. http://www.worldskillsleipzig2013.com/en/education/germany_dual_system/
Pendidikan Kejuruan Jerman Jadi Model di Negara Lain. Deutsch Welle. http://www.dw.de/pendidikan-kejuruan-jerman-jadi-model-di-negara-lain/a-16587165
Pengangguran Muda di Indonesia Tertinggi di Asia. Tribune Kompas. http://www.tribunekompas.com/2012/04/pengangguran-muda-di-indonesia.html

0 komentar:

Posting Komentar